Header Ads

Artikel Terbaru :
Loading...

Kunci Meraih Keteladanan Rasulullah


لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al Ahzab : 21)

Keteladanan mulia melimpah pada diri Rasulullah SAW. Beliau ibarat istana yang di dalamnya penuh dengan perhiasan, mutiara dan mutu manikam. Segenap perhiasan yang melimpah tersebut sengaja disediakan dan boleh dinikmati serta dikenakan oleh siapapun untuk menghiasi dirinya. Tentunya bagi mereka yang mampu memasuki gerbang istana tersebut. Setiap gerbang pasti ada kuncinya, maka siapapun yang memiliki kunci pembuka itu akan mudah menikmati gemerlapnya perhiasan yang tersedia.

Demikianlah Rasulullah Saw. Dalam diri beliau tersedia keteladanan melimpah yang bisa diambil dan dijadikan penghias akhlak bagi siapapun. Namun, apakah semua orang bisa dengan mudah menggapai keteladanan itu dan menjadikannya sebagai penghias diri dalam mengarungi kehidupan di dunia ini? Atau ada kunci khusus?

Kalau kita perhatikan ayat pembuka di atas, ayat tersebut dibuka dengan dua kata penguat, "Qad" dan "Lam" taukid. Keduanya berfungsi menguatkan dan menegaskan makna. Padahal dengan satu taukid (penguat) saja dalam sebuah kalimat sudah menegaskan maknanya. Tambahan kata "sungguh" yang kita gunakan tentunya untuk lebih meyakinkan kepada orang yang bertanya dan untuk menghilangkan keraguan dalam dirinya.

Ayat di atas memberikan kesan bahwa kita ini ragu dengan informasi yang Allah berikan melalui ayat di atas, yaitu bahwa Rasulullah Saw. adalah teladan terbaik untuk kita. Benarkah kita ragu? Atau betulkah ada yang meragukan bahwa Rasulullah Saw. adalah teladan yang terbaik? Secara pemikiran dan kajian akademik semua percaya, semua mengakui, baik lawan maupun kawan. Jadi dimanakah letak keraguan itu? Bukan pada pemahaman, akan tetapi pada tingkat ekspresi dari yang diyakini serta prilaku yang ditunjukkan.

Sebagai contoh, kalimat yang diucapkan seorang dokter, "Sungguh, olahraga itu sangat berguna bagi kesehatan kita." Apakah kita tidak percaya dengan informasi tersebut? Kita semua secara pemikiran tidak satupun yang meragukannya, namun apakah setiap kita berolah raga dengan serius demi menjaga kesehatan.

Demikianlah, kita percaya namun kepercayaan itu mirip dengan keragu-raguan. Demikian pula tentang keteladanan yang adapad diri Rasulullah Saw. Semua yakin akan hal itu. Namun, dalam kenyataaanya banyak yang tidak benar-benar yakin karena prilakunya tidak menunjukkan hal tersebut. Kalau memang benar-benar yakin maka ia akan mengambil keteladanan itu dan menjadikannya sebagai bagian dari karakter diri.

Ternyata mengambil keteladanan Rasulullah Saw. tidak mudah

Negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini menunjukkan realita yang demikian. Rasulullah Saw adalah pribadi yang terpercaya bahkan sebelum beliau diangkat sebagai Rasul. Namun kejujuran dan amanah menjadi barang langka. Beliau adalah pribadi yang sangat adil, baik dengan dirinya, keluarga bahkan dengan masyarakatnya.

Namun banyak di antara kita yang tidak bisa bersikap adil bahkan kepada diri kita sendiri. Masih banyak pemberitaan tentang KDRT yang merupakan cerminan hilangnya keadilan dalam rumah tangga, karena lawan dari keadilan adalah kezhaliman. Masih banyak rakyat yang mengeluhkan minimnya keadilan.

Rasulullah Saw. sangat lembut, santun dan begitu bijak, namun banyak kita temukan sikap-sikap kasar terjadi dalam bermuamalah antar sesama. Bukankah beliau teladan yang terbaik untuk kita? Namun mengapa keteladanan itu terasa sulit untuk kita jadikan karakter diri kita. Rasulullah Saw sedikit tidur namun kita sedikit-sedikit tidur. Rasulullah sedikit makan, namun kita sedikit-sedikit makan. Rasulullah sedikit bercanda, kita sedikit-sedikit bercanda. Kita sedikit beribadah, Rasulullah sedikit-sedikit beribadah.

Kunci Pembuka Keteladanan Rasulullah Saw.

Ada tiga hal yang akan menjadi kunci bagi kita untuk membuka gerbang istana yang didalamnya terdapat keindahan keteladanan Rasulullah Saw.

1. Berharap hanya kepada Allah

Orang-orang yang selalu berharap kepada Allah swt, tidak akan menyibukkan dirinya dengan pujian-pujian dari manusia lain terhadap apa yang telah ia lakukan. Ia hanya berharap kebaikan dari Allah sebagai balasan kebaikannya. Ketika ia beramal maka pahala dari Allah - lah harapannya, jika ia berkarya demi kemaslahatan bersama maka cinta dari Allah - lah yang menjadi dambaannya.

Jadi setiap insan yang berharap kepada Allah swt, akan lebih mudah melakukan kebaikan karena ia hanya berharap balasan dari Allah, bukan dari manusia lain. Dan ini menjadikannya dapat mengambil keteladanan Rasulullah dalam melakukan amalan yang baik serta meninggalkan keburukan. Allah swt berfirman,

"Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS Al Kahfi : 110)

2. Berharap akan kedatangan akhirat.

Ketika mendengar kata akhirat maka yang ada dalam benak kita adalah Surga dan Neraka. Inilah akhir perjalanan kita kelak. Maka orang yang berharap akan akhiratnya, tentuny mereka adalah orang yang mengidamkan surga.

Pribadi yang senantiasa mengharapkan kehidupan baik di akhirat, maka akan mudah baginya untuk berbuat kebaikan, dan ia akan terjaga dari perbuatan buruk yang bisa saja dilakukannya. Ketika ia akan melakukan perbuatan buruk, berlaku curang, perbuatan keji, dan mungkar, maka ia akan teringat bahwa ini akan mengantarkannya pada adzab Allah yang begitu pedih di neraka, serta merta ia akan membatalkan untuk melakukan perbuatan tersebut.

Demikianlah, mereka yang memiliki kunci kedua ini akan mudah meneladani Rasulullah Saw.

3. Banyak berdzikir kepada Allah

Banyak di antara kita yang setiap harinya berdzikir, sehabis shalat atau di waktu-waktu tertentu. Bahkan ada juga yang menentukan jumlah yang begitu banyak, misal 1001 kali atau 333 kali. Tentunya bukan sekedar jumlah atau waktu yang kita habiskan untuk dzikir kepada Allah, melainkan memperbanyak dzikir kepada Allah dengan dzikir yang berkualitas. 

Dzikir yang berkualitas jika makna dzikir kepada Allah itu menjadikan kita ingat kepada Allah dalam setiap perbuatan kita. Dan ini menjadikan kita dapat mengambil teladan dari Rasulullah Saw. Misal dzikir kita kepada Allah dengan asmanya, As Samii' dan Al 'Aliim (Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui). Dengan memaknai dzikir ini dalam setiap perbuatan kita, maka kita akan merasa selalu diawasi dan kita selalu berusaha untuk melakukan amal yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.

Wallahu 'alam bish showab

Ditulis kembali dari Buletin Jum'at ALMANAR dengan beberapa perubahan

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.